Sejak
Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan,
dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat
dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik,
Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan
di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset,
pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh
itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik
sebagai ikon Taringbabi.
Para punker biasanya
datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan,
melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol
dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka
menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi
bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan
menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar,
secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.
Sebagian besar
anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih
sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu
ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga
miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali
Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng,
Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota
seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal,
Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar,
Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan
mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako
untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.
Jika sekilas
memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang
berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk
dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa
ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.
Bagi
anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang
menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan
Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang
didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:
Banyak
dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan
melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / /
Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik
matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / /
Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban
yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya
/ / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna
oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat
dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang
hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa /
Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik
tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan
tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian
***
Persoalan
anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama
diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di
hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah
sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak
jalanan.
Pada
saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan
Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan
mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang
anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan
anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup
sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan
anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir
dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir
begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan
peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita
memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati
peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan
sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya,
ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya–
berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri
berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya
mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen
oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui
UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai
alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang
memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi
produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk
mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi
anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
Negara
memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang
berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal
manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini
mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan
penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya
menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak
dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk
memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai
bagian dari penyiapan masa transisi.
Saya
Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa
kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa
implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya
menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua
menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan
baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna”
(tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada
di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe
mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal
yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk
memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab
lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan
anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah
yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan
ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk
membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan
elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak
secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya
pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada
berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang
dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse)
untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai
kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti
yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang
dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai
massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan
sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan
dan ketidakamanan.
Jalan
raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda
tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial,
akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan
eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau
melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah
kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen.
Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang
bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya
ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di
jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup
di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh
Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup
di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak
ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah
sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan
dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil
dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya
yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup
terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak
merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi
oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah,
sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan
menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu
ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia
bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika
pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak
mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir
bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila
strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini
dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam
masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama
barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh,
bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa
tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti
dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari
bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John,
Jimi, Tomi dan semacamnya.
Proses
penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan
sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana
menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk
memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan
konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
***
Apakah mereka memahami apa itu punk?
Mike:
Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di
jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap
bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam.
Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran
orang yang sudah dimapankan — yang menganggap negatif karena melihat
penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang
lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin
kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa
dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia
mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran —
ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain,
latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang
untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak
atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan
hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor.
Buat gue itu penting, manusiawi banget!
Tapi, di sisi lain
Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya
menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka
mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk
membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka
masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan
lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka
menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk
yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan
berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.
Bagi mereka, punk
sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan
hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka,
dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala
bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau
menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri
sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu, seperti yang
terjadi berikut ini:
Pada suatu siang yang
gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat
Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang
diantaranya berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat,
sehingga menjadi tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke
mana, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.
Anak-anak kampung
Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali.
Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali,
sambil diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu,
mengusir mereka.
Kejadian serupa,
akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada
aksi kriminal, seperti kasus perkosaan yang terjadi di terowongan
Casablanca yang dilakukan segerombolan orang yang beratribut punk, yang
diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu mendengar kejadian itu,
gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya jadi tempat
nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.
Squat Marjinal juga
sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya —
(seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu
tentang putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka.
“Rambut diwarnai merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya
pergi jauh ke Jawa padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok
Kopi.
Sampai saat tulisan
ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah
organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua
menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal.
Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang
menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan
para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.
Berbeda dengan
gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk
jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah
gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya
dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di
Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth
Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat
liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi
uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga
pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan
pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi,
masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari
nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi
karnaval dan musik.
Sebagai sub-kultur
Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari
novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib
anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih
cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap
untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu
merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di
tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya
memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari
panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan
jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan.
Dan terbebas dari eksploitasi.
Bagi seorang punk,
jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang,
di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka
berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian.
Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena
perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan
adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan
kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka
berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape)
dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai
projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan.
Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less,
menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi
ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!
Melihat fenomena
gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri
di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka
bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah
hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman
dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***