Mereka jarang tersenyum bukan karena mereka enggan untuk tersenyum. Tapi
hidup dan waktu seolah menuntut mereka untuk menghabiskan sebagian
besar kehidupan untuk bekerja keras sehingga terkadang mereka lupa bahwa
ada waktu untuk tersenyum. Seolah dunia begitu keras menuntut mereka
hingga mereka lupa untuk tertawa. bahkan mereka tidak punya waktu untuk
tersenyum. Apa mereka lupa cara tersenyum? Atau karena mereka tak pernah
menerima senyuman, makanya mereka tak tahu lagi bagaimana caranya
tersenyum?
-
Terkadang dunia memang terlalu keras pada mereka. Bukan dunia sebagai
objek, tapi dunia dengan manusianya. Bagaimana jika sesekali kita tidak
menghabiskan waktu di tempat-tempat yang indah? Kenapa kita tak
meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan mereka? Jika tak mau atau
tak mampu membantu mereka dengan materi, tidak ada salahnya juga kita
menghargai mereka dengan sebuah senyuman ikhlas dari wajah kita.
Bukankah mereka juga saudara kita???
Andai kita punya waktu untuk memperhatikan kehidupan mereka yang begitu
sederhana. Maka kita akan menemukan kehidupan yang begitu indah. Di sana
kita sadar betapa lebih beruntungnya kita….tidak ada salahnya sesekali
kita berjalan kaki sendirian di tengah keramaian sambil memperhatikan
lingkungan kita. Cobalah luangkan waktu sedikit saja untuk itu. Sekali
lagi, jika tak dapat memberi pada mereka, paling tidak kita bisa sadar
dan lebih memahami lagi hidup kita.
-
Mereka hebat. Dengan kehidupan yang begitu keras, mereka tetap bisa
menjalaninya. Meski tak tahu dengan apa hidup ini akan dilanjutkan esok
hari dan dengan apa perut mereka akan diisi, mereka tetap menanti
datangnya mentari pagi. Mereka bilang kalau mereka percaya bahwa selama
mereka masih hidup, maka rezeki dari Tuhan akan tetap ada untuk
mereka,rezeki akan tetap ada selama mereka masih percaya dan mau
berusaha serta berdo’a.
Mereka dengan kesederhaannya selalu bahagia dan bersyukur ketika
mendapatkan sejumlah uang. Jika orang kaya yang menerima uang sejumlah
itu, mungkin mereka menganggap uang itu tak berarti apa-apa. Tapi mereka
tetap tersenyum ketika mendapatkannya. Mengapa harus ada perbedaan
seperti itu?
Jika si miskin datang ke rumah si kaya, sangat jarang atau bahkan tak
akan ada sambutan hangat bagi mereka. Tapi, ketika si kaya yang datang
ke rumah si miskin, maka si miskin terlihat begitu menghargai. Seolah
mereka didatangi oleh tamu agung di rumahnya. Sekali lagi, mengapa harus
ada perbedaan seperti itu?
Jika suatu ketika si miskin dengan pakaiannya yang tampak lusuh dan
kotor terjatuh, maka si kaya tak akan menghiraukan karena mungkin bagi
mereka tidak akan menimbulkan manfaat apa-apa bagi dirinya. Yang ada
paling hanya akan mengotori pakaiannya, mungkin itulah yang ada di
fikirannya. Tapi, si miskin masih tetap berbeda dengan si kaya. Ketika
keadaan berbalik, maka si miskin akan tetap membantu. Si miskin begitu
penghiba. Hati mereka begitu lembut, sehingga tak mampu membiarkan orang
lain dalam kesusahan karena mereka tahu bagaimana rasanya kesusahan
itu.
Demi untuk sesuap nasi mereka rela kepanasan, kehujanan, bahkan kadang
ada yang mencela mereka...dengan hanya bermodal suara yang tidak begitu
merdu serta alat yang bisa di jadikan musik. Tapi itu semua tidak bisa
membuat mereka untuk menyerah, karna bagi mereka hidup itu memang penuh
dengan perjuangan dan hidup itu bukan sebuah pilihan. Jika dengan segitu
saja mereka menyerah, dengan apa nanti mereka bisa memperpanjang hidup
mereka esok.
Anak jalanan bukan lah anak nakal atau anak gembel...anak jalanan adalah sang penghibur.
Mereka selalu menghibur kita ketika kita sedang berada dalam perjalanan meski hati mereka tak terhibur.
Janganlah memandang anak jalanan dengan sebelah mata, mulai sekarang dan
seterusnya, pandang lah mereka dengan kedua mata kita dan jadikan
mereka sebagai motifasi hidup kita, karna mereka selalu bersyukur dengan
apa yang mereka dapat dan selalu berusaha agar bisa menjadi yang
terbaik.
Baca selengkapnya »